Teori
Politik Islam ; Analisis Historis Pembentukan Negara Islam
Di
antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik secara
umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran
politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis (1). Jika fenomena
itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang
pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik
Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini —terutama pada fase-fase
pertumbuhan pertamanya– berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah
Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua
sisi dari satu mata uang. Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama
lain. Sifat hubungan di antara keduanya berubah-ubah: terkadang
pemikiran-pemikiran itu tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian,
dan terkadang pula kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang
melahirkan pendapat-pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah
bias dari kejadian yang berlangsung pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang
dihasilkan melalui perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa
sebelumnya. Atau bisa pula hubungan itu berbentuk lain.
Karena
adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis, maka jelaslah
masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa keberadaan yang
lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan
mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang berkaitan
dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan historisnya
—yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami
hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas
pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya
masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Inilah
metode yang akan kami gunakan.
Era
Kenabian
Era ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era “kenabian” atau “wahyu”. Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna.
Era ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era “kenabian” atau “wahyu”. Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna.
Era ini
terbagi menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu
tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh
beberapa orientalis (2). Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi
titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio ‘masyarakat Islam’ mulai
tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian
pada fase kedua bangun ‘masyarakat Islam’ itu berhasil dibentuk, dan
kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara
mendetail. Syari’at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip
baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu
seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral dan
aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu.
Sejarah,
dalam pandangan politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan dengan
fase pertama. Karena saat itu jama’ah Islam telah menemukan kediriannya, dan
telah hidup dalam era kebebasan dan independensi. Ia juga telah meraih
‘kedaulatan’nya, secara penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat
diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Namun, dalam pandangan sejarah, ciri
terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya sebagai fase
‘pembentukan’, dan fase pembangunan dan permulaan. Fase ini memiliki urgensitas
yang besar dalam menentukan arah kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan
sebagai peletak rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya
sepanjang sejarah. Sedangkan dari segi pemikiran teoritis, pengaruhnya terbatas
pada kenyataannya sebagai ruh umum yang terus memberikan ilham terhadap pemikiran
ini, memberikan contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan
pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu berbeda satu sama
lain, dan memberikan titik pertemuan bagi pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab
yang berbeda. Sedangkan selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya
pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing. Terutama jika
objek kajiannya adalah analisis terhadap sistem umum yang menjadi platform
kenegaraan ummat, atau tentang hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya,
atau analisis terhadap salah satu sifatnya. Atau dengan kata lain, analisis
terhadap masalah-masalah yang dinamakan sebagai ‘politik’. Karena
pendapat-pendapat personal itu tidak tumbuh dalam satu atmospir. Namun
pendapat-pendapat itu tampil seiring dengan terjadinya perbedaan pendapat dan
kecenderungan-kecenderungan. Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu
juga adalah adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat, dan
keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku yang sedang
berlangsung. Sedangkan jika suatu sistem telah sempurna, yang mencerminkan
prinsip-prinsip agung yang diamini oleh seluruh anggota jama’ah (ummat), dan
adanya persatuan yang terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka
menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang agenda-agenda
kerja yang besar, niscaya tidak diperlukan sama sekali tumbuhnya
pendapat-pendapat individu atau tampil ‘teori-teori’.
Demikianlah,
era Rasulullah Saw mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan
umat. Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan
replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh
generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, ‘pemikiran teoritis’ saat itu
belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas,
belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut
berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong
timbulnya pemikiran ini, dan membentuk ‘teori-teori politik’ secara lengkap. Di
antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial
yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan
berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk
merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan
beberapa segi formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang
faktor-faktor ini.
Islam dan
Politik
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah –jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern– tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah –jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern– tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Dengan
demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena
hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan
mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat.
Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan
antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu
sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling
beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam
ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan
bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi
keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada
sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai ‘kalangan
pembaru’, dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa
Islam hanyalah sekadar ‘dakwah agama’ (3): maksud mereka
adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu
dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan
urusan-urusan yang kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia
ini. Di antara urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta,
dan yang paling utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka
adalah: “agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain”.
Untuk
mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan
pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga
kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka
dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip
beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan
hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para
‘pembaru-pembaru’ itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para
orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam
menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di
antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:
1. Dr.
V. Fitzgerald (4) berkata: “Islam bukanlah semata
agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political
system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat
Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan ‘modernis’, yang berusaha
memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di
atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang
tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain”.
2. Prof.
C. A. Nallino (5) berkata: “Muhammad telah membangun
dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas
teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya”.
3. Dr.
Schacht berkata (6): ” Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan
teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih
sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan
negara secara bersamaan”.
4. Prof.
R. Strothmann berkata (7): “Islam adalah suatu fenomena
agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang
politikus yang bijaksana, atau “negarawan”.
5. Prof
D.B. Macdonald berkata (8): “Di sini (di Madinah)
dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama
undang-undang Islam”.
6. Sir.
T. Arnold berkata (9): ” Adalah Nabi, pada waktu yang
sama, seorang kepala agama dan kepala negara”.
7. Prof.
Gibb berkata (10): “Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam
bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya
suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam
sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi”.
Bukti Sejarah
Seluruh
pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara fakta
sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya
dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai
identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu
undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju
kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang
baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya
perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua
unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat ‘politik’.
Atau yang dinamakan sebagai ‘negara’. Tentang negara, tidak ada suatu definisi
tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah
disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di
antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adalah, bangunan
masyarakat politik ini atau ‘negara’, telah memulai kehidupan aktifnya, dan
mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju
dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan
kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah pembacaan
bai’at Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan
dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para faktanya, kedua
bai’at ini –yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang berlangsungnya kedua
bai’at ini– merupakan suatu titik transformasi dalam Islam (11). Dan peristiwa
hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa bai’at
itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai’at tadi adalah dengan melihatnya
sebagai batu pertama dalam bangunan ‘negara Islam’. Dari situ akan tampak
urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai’at itu dengan
kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian
filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi bagi
berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, ‘kontrak sosial’ yang
dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi,
sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua
kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara Islam
berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang
diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu antara keinginan-keinginan
manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan
untuk mewujudkan risalah yang mulia.
Dengan
demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan
pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu
tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali
dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat
untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan,
menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar
negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang
mengingkarinya. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta
sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh
seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini –yang telah kami sebutkan–
terbentuk bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti –di
samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya– atas sifat
politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami
gunakan tadi, bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka
terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi keberadaan pemikiran
politik. Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya,
hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat
ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan
faktor yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Bahkan ia merupakan
landasan berpijak bagi kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran
yang beragam. Oleh karena itu, amatlah logis jika kami curahkan seluruh
perhatian ini untuk meneliti dan menjelaskannya.
Catatan
kaki:
(1) Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku “The Divine Right of Kings –yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang besar– , dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: “Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni”, hal. 6.
J. Matters juga mengatakan dalam bukunya “Concepts of State, Sovereignty and International Law”, p.2, sebagai berikut: “ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang –secara berturut-turut–terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka”.
(1) Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku “The Divine Right of Kings –yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang besar– , dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: “Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni”, hal. 6.
J. Matters juga mengatakan dalam bukunya “Concepts of State, Sovereignty and International Law”, p.2, sebagai berikut: “ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang –secara berturut-turut–terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka”.
(2) Di antara klaim-klaim yang salah, yang
didengung-dengungkan oleh banyak orientalis adalah: bahwa peristiwa hijrah
merupakan permulaan era baru. Maksudnya, ia merupakan starting point terjadinya
perubahan fundamental, yang tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat
kejadian-kejadian yang berlangsung setelahnya, namun juga pada karakteristik
Islam itu sendiri, prinsip-prinsip yang diajarkan olehnya, serta dalam lingkup
kejiwaan Rasulullah Saw dan tujuan-tujuan beliau. Untuk membuktikan klaim itu, mereka
melakukan komparasi antara kehidupan Rasulullah Saw yang bersifat menyerah dan
mengalah di Mekkah dengan kehidupan jihad dan revolusi di Madinah!. Untuk
membantah klaim ini, kita cukup berdalil dengan fakta bahwa tidak kontradiksi
antara kedua priode kehidupan Rasulullah Saw itu (priode Mekkah dan madinah),
dan priode kedua tak lebih dari kontiunitas periode pertama. Dan perbedaan yang
ada hanyalah terletak pada kondisi dan faktor-faktor penggerak kejadian; setiap
kali ada fenomena tertentu yang signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru
dalam kehidupan Islam.
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam “Muhammedanism”, p. 27, in the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam “Muhammedanism”, p. 27, in the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:
“Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point
transformasi menuju era baru dalam kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun
pembandingan secara mutlak yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul
yang tidak terkenal dan tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid
[Muhammad] dalam membela aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam
sejarah. Tidak ada perubahan dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau
kesadarannya terhadap misinya itu. Meskipun dalam segi pisik tampak gerakan
Islam dalam bentuk yang baru, namun hal itu hanyalah bersifat sebagai
penampakkan sesuatu yang sebelumnya tertutup, dan pendeklarasian sesuatu yang
sebelumnya disembunyikan. Adalah suatu pemikiran Rasul yang tetap — seperti
yang juga dilihat oleh musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang
didirikan olehnya itu– bahwa dia akan mendirikan suatu bangunan politik; sama
sekali bukan sekadar bentuk agama yang terpisah dari dan terletak di bawah
kekuasaan pemerintahan duniawi. Dia selalu menegaskan, saat menjelaskan sejarah
risalah-risalah rasul sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah
satu tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu
hal baru yang terjadi di Madinah –hanyalah– berupa: jama’ah Islam telah
mengalami transformasi dari fase teoritis ke fase praksis”.
(3) Diantara tokoh mengusung pendapat ini dan
membelanya adalah Ali Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama di Manshurah,
dan mantan menteri perwakafan, dalam bukunya yang dipublikasikan pada tahun
1925, dan berjudul: Al Islam wa Ushul al Hukm. Di samping bantahan-bantahan
yang kami ketengahkan saat ini, kami akan kembali mendiskusikn
pendapat-pendapatnya dan memberikan bantahan atasnya nanti secara lebih terperinci
dalam pasal-pasal berikutnya. (lihat, terutama, pasal keempat, dalam buku ini,
di bawah sub-judul: bantahan atas klaim-klaim beberapa penulis kontemporer).
(4) Dalam ‘Muhammedan Law”, ch. I, p. 1.
(5) Dikutip oleh Sir. T. Arnold dalam bukunya: The
Caliphate, p. 198.
(6) Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, p. 333
(7) The Encyclopedia of Islam, IV, p. 350.
(8) Development of Muslim Theology, Jurisprudence and
Constitutional Theory, New York, 1903, p. 67
(9) The Caliphate, Oxford, 1924, p. 30.
(10) Muhammedanism, 1949, p. 3
(11) Deskripsi detail tentang kedua bai’at tadi dapat dirujuk di dalam
buku-buku sejarah politik. Dalam kesempatan ini kami sebutkan dua referensi:
pertama, Sirah ibnu Hisyam (cet. Al Maktabah at Tijariah al Kubra), juz 2, hal.
35-90. kedua, Muhadharat fi Tarikh al Umam al Islamiah, karya Muhammad
Khudhari, juz 1, hal. 79-83. Kami cukup mengutip sedikit darinya tentang kedua
bai’at itu. Yaitu bahwa bai’at yang pertama terjadi satu tahun tiga bulan
sebelum peristiwa hijrah, dan dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk
Madinah. Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan
bertauhid, memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi
undang-undang masyarakat yang ideal. Sedsangkan bai’at yang kedua terjadi satu
tahun setelah itu, pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh
tiga laki-laki dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat itu
—disamping point-point yang disepakati sebelumnya– adalah untuk saling bantu-membantu
daslam peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri
itu, dan agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan membela
kebenaran.
0 comments:
Post a Comment